Sepotong Cerita Masa Lalu : Penyakit Hati

Assalamu'alaikum.. .

Dunia perlahan berubah, dari yang dulunya sehat menjadi sakit. Aku tak ingin menyalahkan siapapun atas datangnya penyakit di bumi ini, malahan aku begitu bersyukur. Bahwa Tuhan masih mengingatkan manusia untuk tidak terlalu fokus mengejar dunia. Perekonomian yang lumpuh, tak luput pula pada akses pendidikan yang terhambat bagi mereka di pedalaman yang belum dapat mengakses internet. Bagi ku yang masih Tuhan berikan kenikmatan atas pendidikan di tengah pandemi ini, aku begitu bersyukur.

Namun, momen pandemi ini pun ku rasa masih belum cukup bagi segelintir orang untuk kembali melakukan penindasan pada yang lainnya. Aku tak berusaha menggiring opini untuk menjadi satu-satunya korban. Hanya saja, menyimpan luka sendirian merupakan upaya bunuh diri bagi ku. Anggap saja ini sebagai pelajaran untuk kehati-hatian kita semua. Bahwa selalu saja ada manusia tak ramah di luar sana, yang melakukan berbagai cara untuk memenuhi keinginan ego nya semata.

Hal inilah yang terjadi pada Ku, penambang-penambang kecil di daerah. Segelumet proses pembuatan izin yang ku perjuangkan dengan "berdarah-darah", karena kita tahu melangkah itu tidak dengan udara melainkan dengan uang. Belum lagi adanya hati-hati sakit, yang memaksa sopir-sopir kami untuk membeli dagangan mereka, mungkin sesekali tidaklah mengapa. Namun jika diharuskan membeli 3 kali sehari, bukan nya mencekik layak nya obat yang membuat candu ? Tidak sampai disitu saja mereka berbuat, ancaman dan kata-kata kotor datang silih berganti. Bahkan, kalimat yang mengatakan bahwa mereka sanggup memukuli sopir-sopir kami. 

Dengan kokoh ku tolak ketidakadilan itu, karena ku tahu sopir-sopir kami adalah orang-orang yang sama seperti ku, memiliki hak untuk membeli dan keluarga yang senantiasa setia menunggu di rumah. 

Terluka? Iya. Tak pernah ku secuil pun mengeruk apa yang haram untuk ku keruk. Tak ada secuil pun ku tolak keluarkan apa yang harus ku keluarkan. Karena pajak pun ku berikan ikhlas pada negeri ku. Lantas kenapa seolah-olah kami adalah cucuk bagi kerongkongan mereka ?

Pikiran liar ku mulai menghantui. Apakah alasan utama mereka membabi buta karena Tanah-tanah yang kami tambang ini merupakan tanah-tanah yang kalian jual dulu kepada ku ?
Atau mungkin kalian menginginkan hak ku untuk dibagi sesuai mau mu ?

Maka aku sebagai orang beragama dan bernegara, tanpa di pintai siapapun, aku telah membagi harta ku dengan ukuran negara dan ukuran agama. 

Atau mungkin pura-pura lupa, waktu itu menerima bagian rizki dari ku ?

Ingin rasanya aku berteriak :
"Jika kau terlalu fokus untuk mengomentari apa kontribusi orang lain untuk negara, lantas apa yang kau kontribusikan untuk negara ?"

Jika ku ungkit lagi, membangun jembatan pun, tak ada setetes keringat atau uang saku mu yang mampu kau bagi.

Have a nice day!

Komentar

Postingan Populer